Kamis, 27 Desember 2012

WAKAF


A.    Pengertian Wakaf
Kata “wakaf” atau “waqf” berasal dari bahasa Arab “waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam ditempat” atau “tetap berdiri”. Kata al-Waqf dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian, yaitu : menahan, menahan harta untuk diwakafkan. Secara syariah, wakaf berarti menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah.
Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat dan faedahnya (al-manfa’ah). Sedangkan dalam buku-buku fiqih, para ulama berbeda pendapat dalam member pengertian wakaf. Perbedaan pandangan tentang terminology wakaf adalah sebagai berikut :
a.       Mazhab Hanafi
Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum, tetap milik si wakif/pewakaf dan mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan.
b.      Mazhab Maliki
Wakaf adalah menahan benda milik pewakaf (dari penggunaan secara kepemilikan-termasuk upah), tetapi membolehkan pemanfatan hasilnya untuk tujuan kebajikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar untuk suatu masa tertentu sesuai lafal akad wakaf dan tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf lafal (selamanya).
c.       Mazhab Syafi’I dan Ahmad bin Hambal
Wakaf adalah menahan harta pewakaf untuk bisa dimanfaatkan disegala bidang kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT.
d.      Pendapat Lain
Mazhab lain sama dengan mazhab ketiga, namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu kepemilikan berpindah kepada Allah SWT, maka ia bukan milik pewakaf dan juga bukan milik penerima wakaf.
Berdasarkan uraian mengenai definisi di atas, maka kita dapat menilai bahwa wakaf adalah suatu bentuk philantrophy yang mirip dengan jenis philantrophy lainnya dalam Islam baik itu infak/shadaqah maupun hibah. Persamaannya dalam bentuk penyerahan barang/sumber daya pada pihak lain. Tetapi jika kita bandingkan secara langsung, akan dapat dilihatnya perbedaannya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari table berikut ini :
Wakaf
Infak/Shadaqah/Hibah
Menyerahkan kepemilikan suatu barang kepada orang lain.
Menyerahkan kepemilikan suatu barang kepada pihak lain.
Hak milik atas barang dikembalikan kepada Allah.
Hak milik atas barang diberikan kepada penerima shadaqah/hibah.
Objek wakaf tidak boleh diberikan atau dijual kepada pihak lain.
Objek shadaqah/hibah boleh diberikan atau dijual kepada pihak lain
Manfaat barang biasanya dinikmati untuk kepentingan sosial
Manfaat barang dinikmati oleh penerima shadaqah/hibah.
Objek wakaf biasanya kekal zatnya.
Objek shadaqah/hibah tidak harus kekal zatnya
Pengelolaan objek wakaf diserahkan kepada administrator yang disebut nadzir/mutawilli.
Pengelolaan objek shadaqah/hibah diserahkan kepada si penerima.

B.     Sejarah dan Perkembangan Wakaf di Indonesia
Lembaga wakaf yang berasal dari agam islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Di samping itu, suatu kenyataan pula bahwa diindonesia banyak terdapat benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatika dinegara-negara muslim lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal social yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.
Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Atas Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbutkannya Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya.
C.    Dasar Hukum
Secara umum tidak terdapat ayat Al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas. Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang  infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain QS. Al-Baqarah (2) : 267, QS. Ali Imran (3) 92, QS. Al-Baqarah (2) : 261.
Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis menceritakan tentang kisah Umar bin Al-Khathab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.
Selain dasar dari Al-Quran dan hadis diatas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum muslimin sejak masa awal Islam hingga sekarang.
D.    Rukun dan Syarat
Rukun wakaf ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf, yaitu :
a.       Orang yang berwakaf (al-waqif)
b.      Benda yang diwakafkan (al-mauquf)
c.       Orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi)
d.      Lafaz atau ikrar wakaf (sighah)

Adapun syarat-syarat wakaf antara lain :
a.       Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif)
·         Memiliki secara penuh harta itu
·         Berakal
·         Baligh
·         Mampu bertindak secara hukum (rasyid)
b.      Benda yang diwakafkan (al-mauquf)
·         Barang berharga
·         Diketahui kadarnya
·         Dimiliki oleh orang yang berwakaf
·         Berdiri sendiri
c.       Orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi)
·         Tertentu (mu’ayyan) : muslim, merdeka, dan kafir zimmi
·         Tidak tertentu (ghaira mu”ayyan) : yang akan menerima wakaf itu harus dapat menjadikan wakaf itu untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
d.      Lafaz atau ikrar wakaf (sighah)
·         Ta’bid
·         Tanjis
·         Pasti
·         Tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan

E.     Jenis Wakaf
a.       Berdasarkan Peruntukan
·         Wakaf ahli (Wakaf Dzurri)
Wakaf jenis ini kadang-kadang juga disebut wakaf ‘alal aulad, yaitu wakaf yang diperuntukan bagi kepentingan dan jaminan social dalam lingkungan keluarga, dan lingkungan kerabat sendiri.
·         Wakaf khairi (kebajikan)
Adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum).
b.      Berdasarkan Jenis Harta
·         Benda tidak bergerak, meliputi :
a.       Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
b.      Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah
c.       Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah
d.      Hak milik atas satuan rumah susun sesuai peraturan perundang-undangan
e.       Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan prinsip syariah.
·         Benda bergerak selain uang
·         Benda bergerak berupa uang (wakaf tunai, cash waqf)
Yang merupakan inovasi dalam keuangan public Islam (Islamic Society Finance), karena jarang ditemukan pada fikih klasik.
c.       Berdasarkan Waktu
·         Muabbad, yaitu wakaf yang diberikan untuk selamanya
·         Mu’aqqot, yaitu wakaf yang diberikan dalam jangka waktu tertentu
d.      Berdasarkan Penggunaan Harta yang Diwakafkan
·         Mubasyir/dzati
Yaitu harta wakaf yang menghasilkan pelayanan masyarakat dan bisa digunakan secara langsung seperti madrasah dan rumah sakit.
·         Istitsmary
Yaitu harta wakaf yang ditujukan untuk penanaman modal dalam produksi barang-barang dan pelayanan yang dibolehkan syara’ dalam bentuk apapun kemudian hasilnya diwakafkan sesuai keinginan pewakaf.
F.     Sasaran dan Tujuan Wakaf
Secara umum, tujuan wakaf adalah kemaslahatan manusia, dengan mendekatkan diri kepada Allah, serta memperoleh pahala dari pemanfaatan harta yang diwakafkan yang akan terus mengalir walaupun pewakaf sudah meninggal dunia. Selain itu wakaf memiliki fungsi social, karena sasaran wakaf bukan sekedar untuk fakir miskin tetapi juga untuk kepentingan public dan masyakat luas.
Wakaf memiliki sasaran khusus yang spesifik, yaitu :
1.      Semangat keagamaan
Allah berfirma : “dan carilah wasilah (sarana) untuk menuju kepadanya.” (QS.5:35). Sasaran wakaf ini berperan sebagai sasaran untuk mewujudkan sesuatu yang diniatkan oleh seorang pewakaf.
2.      Semangat social
Sasaran ini diarahkan pada aktifitas kebajikan, didasarkan pada kesadaran manusia untuk berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat. Sehingga, wakaf yang dikeluarkan merupakan bukti partisipasi dalam pembangunan masyarakat.
3.      Motivasi keluarga
Motivasi ini ingin menjadikan wakaf sebagai sarana mewujudkan rasa bertanggung jawab kepada keluarga, terutama sebagai jaminan hidup di masa depan.
4.      Dorongan kondisional
Terjadi jika ada seseorang yang diteinggalkan keluargnya, sehingga tidak ada yang akan menanggungnya. Atau, seorang perantau yang jauh meninggalkan keluarga. Dengan wakaf, pewakaf bisa menyalurkan hartanya untuk menyantuni orang-orang tersebut.
5.      Dorongan naluri
Naluri manusia memang tidak ingin lepas dari kepemilikannya. Setiap orang cenderung ingin menjaga peninggalan harta orang tua atau kakeknya dari kehancuran atau kemusnahan.
G.    Pengelola Wakaf
Salah satu hal penting diluar rukun dan ketentuan syariah dalam wakaf adalah kehadiran pengelola wakaf (nazhir). Bahkan dalam UU No. 41/2004, pengelola wakaf adalah salah satu dari unsur wakaf. Pengelola wakaf dapat dijalankan oleh perseorangan, maupun lembaga (baik berbadan hukum atau organisasi kemasyarakatan).
Pengertian pengelola wakaf adalah pihak menerima harta benda wakaf dari pewakaf untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Posisi pengelola wakaf sebagai pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengelola harta wakaf, mempunyai kedudukan yang penting dalam perwakafan.
Hal-hal yang wajib dilakukan oleh pengelola wakaf, yaitu :
1)      Melakukan pengeloaan dan pemeliharaan barang diwakafkan, baik pewakaf mensyaratkan secara tertulis atau tidak.
2)      Melaksanakan syarat pewakaf.
3)      Membela dan mempertahankan kepentingan harta wakaf.
4)      Melunasi utang wakaf dengan menggunakan pendapatan atau hasil produksi harta wakaf tersebut.
5)      Menaikkan hak-hak mustahik dari harta wakaf, tanpa menundanya, kecuali terjadi sesuatu yang mengakibatkan pembagian tersebut tertunda.
Hal-hal yang boleh dilakukan pengelola wakaf, yaitu :
1)      Menyewakan harta wakaf
2)      Menanami tanah wakaf
3)      Membangun pemukiman di atas tanah wakaf untuk disewakan
4)      Mengubah kondisi menjadi lebih baik
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan pengelola wakaf, yaitu :
1)      Tidak melakukan dominasi atas harta wakaf
2)      Tidak boleh terutang atas nama wakaf
3)      Tidak boleh menggadaikan harta wakaf dengan membebankan biaya tebusan kepada kekayaan wakaf, atau dirinya, atau kepada salah seorang dari mustahik.
4)      Tidak boleh mengizinkan seseorang menggunak harta wakaf tanpa bayaran
5)      Tidak boleh meminjamkan harta wakaf kepada pihak yang tidak termasuk dalam golongan peruntukan wakaf.



artikel


Tugas Individu                                                                                              Dosen Pembimbing
Pasar dan Lembaga Keuangan Syariah                              Hidayati Nasrah,SE,M.ACC,Ak
                                                                                                               

Mengapa Asuransi Syariah itu penting? Dan Apa Yang Menjadi Keunggulan Dari Sistem Asuransi Syariah Ini?”



Disusun Oleh :
IRMA YUNI
10973005678

JURUSAN AKUNTANSI S1
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
PEKANBARU

 
2012

Mengapa Asuransi Syariah itu penting? Dan Apa Yang Menjadi Keunggulan Dari Sistem Asuransi Syariah Ini?
Definisi asuransi syari'ah menurut Dewan Syariah Nasional adalah usaha untuk saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru' yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko/bahaya tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.
Asuransi Syariah adalah sebuah sistem dimana para partisipan/anggota/peserta mendonasikan/menghibahkan sebagian atau seluruh kontribusi yang akan digunakan untuk membayar klaim, jika terjadi musibah yang dialami oleh sebagian partisipan/anggota/peserta. Peranan perusahaan disini hanya sebatas pengelolaan operasional perusahaan asuransi serta investasi dari dana-dana/kontribusi yang diterima/dilimpahkan kepada perusahaan.
Asuransi syari'ah disebut juga dengan asuransi ta'awun yang artinya tolong menolong atau saling membantu . Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Asuransi ta'awun prinsip dasarnya adalah dasar syariat yang saling toleran terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan bencana yang dialami peserta. Prinsip ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 2, yang artinya :
"Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan".
·       Mengapa Asuransi Syariah Penting?
Asuransi yang selama ini digunakan oleh mayoritas masyarakat (non syariah) bukan merupakan asuransi yang dikenal oleh para pendahulu dari kalangan ahli fiqh, karena tidak termasuk transaksi yang dikenal oleh fiqh Islam, dan tidak pula dari kalangan para sahabat yang membahas hukimnya.
Perbedaan pendapat tentang asuransi tersebut disebabkan oleh perbedaan ilmu dan ijtihad mereka. Alasannya antara lain :
1.      Pada transaksi asuransi tersebut terdapat jahalah (ketidaktahuan) dan ghoror (ketidakpastian), dimana tidak diketahui siapa yang akan mendapatkan keuntungan atau kerugian pada saat berakhirnya periode asuransi.
2.      Di dalamnya terdapat riba atau syubhat riba. Hal ini akan lebih jelas dalam asuransi jiwa, dimana seseorang yang memberi polis asuransi membayar sejumlah kecil dana/premi dengan harapan mendapatkan uang yang lebih banyak dimasa yang akan datang, namun bisa saja dia tidak mendapatkannya. Jadi pada hakekatnya transaksi ini adalah tukar menukar uang, dan dengan adanya tambahan dari uang yang dibayarkan, maka ini jelas mengandung unsur riba, baik riba fadl dan riba nasi'ah.
3.       Transaksi ini bisa mengantarkan kedua belah pihak pada permusuhan dan perselisihan ketika terjadinya musibah. Dimana masing-masing pihak berusaha melimpahkan kerugian kepada pihak lain. Perselisihan tersebut bisa berujung ke pengadilan.
4.      Asuransi ini termasuk jenis perjudian, karena salahsatu pihak membayar sedikit harta untuk mendapatkan harta yang lebih banyak dengan cara untung-untungan atau tanpa pekerjaan. Jika terjadi kecelakaan ia berhak mendapatkan semua harta yang dijanjikan, tapi jika tidak maka ia tidak akan mendapatkan apapun.

Melihat keempat hal di atas, dapat dikatakan bahwa transaksi dalam asuransi yang selama ini kita kenal, belum sesuai dengan transaksi yang dikenal dalam fiqh Islam. Asuransi syari'ah dengan prinsip ta'awunnya, dapat diterima oleh masyarakat dan berkembang cukup pesat pada beberapa tahun terakhir ini.
Asuransi syariah dengan perjanjian di awal yang jelas dan transparan dengan aqad yang sesuai syariah, dimana dana-dana dan premi asuransi yang terkumpul (disebut juga dengan dana tabarru') akan dikelola secara profesional oleh perusahaan asuransi syariah melalui investasi syar'i dengan berlandaskan prinsip syariah.
Dan pada akhirnya semua dana yang dikelola tersebut (dana tabarru') nantinya akan dipergunakan untuk menghadapi dan mengantisipasi terjadinya musibah/bencana/klaim yang terjadi diantara peserta asuransi. Melalui asuransi syari'ah, kita mempersiapkan diri secara finansial dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip transaksi yang sesuai dengan fiqh Islam. Jadi tidak ada keraguan untuk berasuransi syari'ah.

·        Lebih Adil Dengan Asuransi Syariah
Tak kenal maka tak sayang. Setidaknya begitulah potret yang bisa diambil dari masih kurangnya minat masyarakat mengikuti asuransi syariah. Ini tak lain karena kurangnya pengetahuan tentang lembaga keuangan tersebut. Masyarakat masih minim dengan pengetahuan asuransi. Apalagi ketika asuransi telah disandingkan dengan nama syariah, tentu lebih banyak istilah yang perlu diketahui. Tak hanya untuk kepentingan pribadi dan keluarga, sebenarnya berasuransi juga sangat penting dijalankan oleh pebisnis dalam rangka menanggulagi risiko kerugian pada aset-aset usahanya.
Sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), asuransi syariah diartikan sebagai usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai syariah.
Jika seseorang menjadi peserta atau asuransi syariah, dalam istilah syariah disebut sebagail muamman, sedangkan perusahaan asuransi disebut dengan muammin. Selayaknya memulai sebuah asuransi, nasabah mengadakan kontrak dengan perusahaan asuransi. Nah, di sini lah perbedaannya dimulai.
Pada dasarnya asuransi syariah dan asuransi konvensional mempunyai tujuan sama, yaitu pengelolaan atau penanggulangan risiko. Namun beberapa perbedaan mendasar dalam kontrak awal menjadikan asuransi syariah dinilai lebih fair dibandingkan asuransi konvensional.
Menurut Ketua Badan Pelaksana Harian DSN Ma’ruf Amin, berbeda dengan asuransi konvensional yang menerapkan kontrak jual beli atau biasa disebut tabaduli, asuransi syariah menggunakan kontrak takafuli atau tolong menolong antara nasabah satu dengan nasabah yang lain ketika dalam kesulitan. “Jadi di asuransi syariah ada risk sharing,” ujar Ma’ruf. Sedangkan dengan akad tabaduli, terjadi jual beli atas risiko yang dipertanggungkan antara nasabah dengan perusahaan asuransi. Dengan kata lain terjadi transfer risiko (risk transferring) dari nasabah ke perusahaan asuransi.
Pengelolaan dana melalui asuransi syariah diyakini dapat terhindar dari unsur yang diharamkan Islam yaitu riba, gharar (ketidakjelasan dana) dan maisir (judi). Untuk itu perusahaan asuransi syariah memegang amanah dalam menginvestasikan dana nasabah sesuai prinsip syariah. Sesuai akadnya, mudharabah, yaitu akad kerja sama dimana peserta menyediakan 100% modal, dan dikelola oleh perusahaan asuransi, dengan menentukan kontrak bagi hasil.
Jika nasabah asuransi syariah mengajukan klaim, dana klaim berasal dari rekening tabarru’ (kebajikan) seluruh peserta. Berbeda dengan klaim asuransi konvensional yang berasal dari perusahaan asuransinya.
Satu lagi kelebihan asuransi syariah, yaitu tidak mengenal istilah dana hangus layaknya asuransi konvensional. Peserta asuransi syariah bisa mendapatkan uangnya kembali meskipun belum datang jatuh tempo. Karena konsepnya adalah wadiah (titipan), dana dikembalikan dari rekening peserta yang telah dipisahkan dari rekening tabarru’. Lagi pula biaya operasional asuransi syariah. Hal tersebut wajar, mengingat pembebanan biaya operasional ditanggung pemegang polis asuransi, terbatas pada kisaran 30% dari premi, sehingga pembentukan pada nilai tunai cepat terbentuk di tahun pertama dengan memiliki nilai 70% dari premi. Bandingkan dengan pembebanan biaya operasional asuransi konvensional yang ditanggung seluruhnya oleh pemegang polis, sehingga pembentukan nilai tunai menjadi lambat di tahun-tahun pertama menjadi bernilai nol.
Kondisi tersebut juga memungkinkan peserta asuransi umum syariah menerima kembali sebagian premi jika ternyata hingga saat jatuh tempo belum ada klaim. Tentunya juga dengan perhitungan bagi hasil yang telah disetujui di awal kontrak, yang nilainya bergantung pada hasil investasi pada tahun tersebut.
·        Keunggulan Sistem Asuransi Syariah
Sistem Asurasi Syariah memiliki perbedaan dan keunggulan lebih bila dibanding sistem asuransi konvensional. Perbedaan dan keunggulannya terdapat pada prosedur penyimpanan dana, operasionalisasi dana asuransi, dan akadnya.
Ketua Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) Muhammad Zubair mengatakan, terdapat perbedaan antara asuransi syariah dan konvensional, yaitu penempatan dana berdasarkan bagi hasil bukan bunga, premi tidak boleh digunakan perusahaan asuransi untuk hal-hal yang melanggar syariat, uang yang diberikan pada klien nasabah dari perusahaan tidak boleh digunakan bila premi yang dibayar klien jatuh tempo, dan bila perusahaan untung, maka keuntungan dipotong dua setengah persen untuk zakat.
"Asuransi syariah unggul dari segi akad. Dalam akad harus jelas karena menentukan sah tidaknya secara syariat. Klien nasabah bisa mengambil akad mudharabah atau tabarru. Asasnya bukan jual beli seperti di asuransi konvensional, tapi tolong menolong," kata Zubair pada Talk Show Islamic Insurance yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Asuransi Syariah (BEMJ AS) Fakultas Syariah dan Hukum, di Teater lt.2, Selasa (1/5).Meski memiliki keunggulan, kata Direktur Utama MAA Life Assurance Syariah Hardy Harahap masih menghadapi sejumlah permasalahan terutama minimnya regulasi yang mengatur sistem asuransi itu. Kini, baru terdapat satu Undang-Undang (UU) yang mengatur secara khusus menyangkut sistem asuransi syariah, yaitu UU Nomor 2 tahun 1992. Kendati demikian, lanjut Hardy, UU itu belum mampu mengakomodasi semua kebutuhan terkait regulasi asuransi syariah.
Hardy mencontohkan, bila terjadi persengketaan antara perusahaan dan klaim nasabah, maka menurut UU itu harus diselesaikan di peradilan syariah. Sementara itu, pemerintah belum menyediakan kelembagaan peradilan syariahnya, peradilan seperti itu baru ada di Aceh. Menghadapi persoalan itu, Hardy meminta pengelola asuransi membuat draf UU yang nanti diajukan ke pemerintah. Upaya itu agar sistem asuransi syariah tidak cacat hukum dan terjaga kemurniannya dari unsur ribawi.
"Asuransi harus dipergunakan demi kemaslahatan umat," kata Hardy. Perundang-undangannya harus segera dilengkapi, agar mempermudah proses birokrasi dan meningkatnya minat kaum Muslimin untuk segera beralih ke asuransi syariah.



Sumber:
a.       Majalah ReInfokus April 2006
b.      Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia
c.       Ismanto, Kuat. 2009. Asuransi Syari’ah. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
d.      Iqbal, Muhaimin. 2005. Asuransi Umum Syariah Dalam Praktik. Jakarta : Gema Insani Press
e.       Anshori, Abdul Ghofur. 2008. Asuransri Syari’ah di Indonesia . Yogya karta : UII Press Yogyakarta