Kamis, 14 Juni 2012
Makalah IFRS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
International
Accounting Standards
yang lebih dikenal sebagai International
Financial Reporting Standard (IFRS), merupakan standar tunggal pelaporan akuntansi yang
memberikan tekanan pada penilaian (revaluation)
profesional dengan disclosures yang
jelas dan transparan mengenai substansi ekonomis transaksi, penjelasan hingga
mencapai kesimpulan tertentu. Standar ini muncul akibat tuntutan globalisasi
yang mengharuskan para pelaku bisnis di suatu negara ikut serta dalam bisnis
lintas negara. Untuk itu diperlukan suatu standar internasional yang berlaku
sama di semua negara untuk mempermudah proses rekonsiliasi bisnis. Perbedaan
utama standar internasional ini dengan standar yang berlaku di Indonesia terletak
pada penerapan revaluation model, yaitu
kemungkinan penilaian aktiva menggunakan nilai wajar, sehingga laporan keuangan
di sajikan dengan basis ‘true and fair’.
IFRS merupakan standar tunggal pelaporan akuntansi
berkualitas tinggi dan kerangka akuntansi berbasiskan prinsip yang meliputi
penilaian profesional yang kuat dengan disclosures
yang jelas dan transparan mengenai substansi ekonomis transaksi, penjelasan
hingga mencapai kesimpulan tertentu, dan akuntansi terkait transaksi tersebut.
Dengan demikian, pengguna laporan keuangan dapat dengan mudah membandingkan
informasi keuangan entitas antarnegara di berbagai belahan dunia.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
praktik akuntansi negara-negara dunia?
2.
Bagaimana
kompleksitas pengembangan praktik terkait regulasi dan kondisi suatu negara?
3.
Apakah
tantangan dan solusi terhadap penerapan IFRS di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
IFRS
merupakan standar akuntansi internasional yang diterbitkan oleh International Accounting Standard Board (IASB). Standar akuntansi ini
disusun oleh empat organisasi utama dunia yaitu Badan Standar Akuntansi
Internasional (IASB), Komisi Masyarakat Eropa (EC), Organisasi Internasional
Pasar Modal (IOSOC), dan Federasi Akuntansi Internasional (IFAC).
Natawidyana
(2008) menyatakan bahwa sebagian besar standar yang menjadi bagian dari IFRS
sebelumnya merupakan International Accounting
Standard (IAS) kemudian IASB mengadopsi seluruh IAS dan melanjutkan
pengembangan standar yang dilakukan.
Secara
keseluruhan IFRS mencakup:
a. International Financial Reporting Standard
(IFRS).Standar yang diterbitkan setelah tahun 2001.
b. International Accounting Standard
(IAS). Standar yang diterbitkan sebelum tahun 2001.
c. Interpretations
yang diterbitkan oleh International Financial
Reporting Interpretations Committee (IFRIC) setelah tahun 2001.
d. Interpretations
yang diterbitkan oleh Standing Interpretations
Committee (SIC) sebelum tahun 2001.
2.2
Adopsi
atau Harmonisasi?
Adopsi
penuh dan harmonisasi terhadap IFRS memiliki arti yang berbeda. Adopsi penuh
adalah mengadopsi secara penuh tanpa adanya perubahan-perubahan untuk
diterapkan di suatu Negara. Berbeda dengan adopsi penuh, harmonisasi IFRS
memiliki sifat lebih fleksibel dan terbuka. Harmonisasi standar pertama kali
dikenalkan oleh European Commision (EC). Harmonisasi berarti juga sebagai sekelompok Negara yang
menyepakati suatu standar akuntansi yang mirip, namun mengharuskan adanya
pelaksanaan yang tidak mengikuti standar harus di ungkapkan.
Sedangkan
bagi Indonesia terhadap IFRS, IAI mendukung harmonisasi standar akuntansi
melalui adopsi dan adaptasi IAS. Meskipun dengan adanya IFRS tidak semua Negara
dapat menerima yang disebabkan dengan perbedaan-perbedaan ditiap Negara. Namun
tetap perlu adanya yang menjembatani agar Standar Akuntansi Keuangan sejalan
dengan IFRS yaitu dengan melakukan harmonisasi bahkan konvergensi terhadap
IFRS. Adanya harmonisasi bahkan konvergensi terhadap IFRS maka diharapkan
informasi akuntansi memiliki kualitas utama yaitu komparabilitas dan relevansi.
2.3
Tujuan IFRS
Tujuan IFRS adalah memastikan bahwa laporan keuangan
dan laporan keuangan interim perusahaan untuk periode-periode yang dimaksud
dalam laporan keuangan tahunan, mengandung informasi berkualitas tinggi yang:
1. Transparan bagi para pengguna dan
dapat dibandingkan (comparable)
sepanjang periode yang disajikan
2. Menyediakan titik awal yang memadai untuk akuntansi yang
berdasarkan pada IFRS.
3. Dapat dihasilkan dengan biaya yang tidak melebihi manfaat
untuk para pengguna.
2.4
Manfaat
adopsi IFRS
Harmonisasi
standar akuntansi dan pelaporan keuangan telah di anggap sebagai suatu hal yang
mendesak yang harus dilakukan oleh setiap negara termasuk Indonesia sebagai
negara berkembang. Menurut Marsini Purba dalm bukunya yang berjudul “ International Financial Reporting
Standards”, manfaat utama yang diperoleh dari harmonisasi standar akuntansi
dan pelaporan keuangan adalah adanya pemahaman lebih baik atas laporan keuangan
oleh pengguna laporan keuangan yang berasal dari berbagai negara. Hal ini
memudahkan perusahaan menjual sahamnya secara lintas negara atau lintas pasar
modal. Selain itu memberikan efisiensi dalam penyusunan laporan keuangan yang
menghabiskan banyak dana dan sumber dana setiap tahunnya dan juga dapat
menambah kepercayaan investor asing terhadap laporan keuangan
perusahaan-perusahaan nasional.
Membuat
perubahan ke IFRS, artinya mengadopsi bahasa pelaporan global, yang akan
membuat perusahaan dimengerti oleh global
market (pasar dunia). The Big-4 Accounting Firm mengatakan bahwa
banyak dari perusahaan-perusahaan yang telah mengadopsi IFRS mengalami kemajuan
yang signifikan dalam rangka memenuhi maksud mereka memasuki pasar modal dunia.
Dengan Indonesia mengadopsi penuh IFRS, laporan keuangan yang dibuat
berdasarkan PSAK tidak memerlukan rekonsiliasi signifikan dengan laporan
keuangan berdasarkan IFRS. Adopsi penuh IFRS diharapkan memberi manfaat:
1. Memudahkan
pemahaman atas laporan keuangan dengan menggunakan SAK yang dikenal secara
internasional.
2. Meningkatkan
arus investasi global.
3. Menurunkan
biaya modal melalui pasar modal global dan menciptakan efisiensi penyusunan
laporan keuangan.
Menurut ketua tim
implementasi IFRS-Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Dudi M Kurniawan yang dimuat
harian Kompas tanggal 6 Mei 2010 mengatakan bahwa dengan mengadopsi IFRS
Indonesia akan mendapatkan tujuh manfaat sekaligus.
1. Meningkatkan
kualitas Standar Akuntansi Keuangan (SAK).
2. Mengurangi
biaya SAK.
3. Meningkatkan
kredibilitas dan kegunaan laporan keuangan.
4. Meningkatkan
komparabilitas pelaporan keuangan.
5. Meningkatkan
transparansi keuangan.
6. Menurunkan
biaya modal dengan membuka peluang penghimpunan dana melalui pasar modal.
7.
Meningkatkan efisiensi penyusunan
laporan keuangan.
2.5
Perbandingan Standar Akuntansi Keuangan: Indonesia,
Amerika Serikat, dan Internasional.
Untuk melihat
terjadinya perbedaan praktek akuntansi di
berbagai negara di
dunia ini, berikut ini
disampaikan contoh Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) yang
berlaku di Indonesia, Amerika Serikat
(Financial Accounting Standard Board/FASB) dan
Stadar Akuntansi Internasional (International Accounting
Standard/IAS) atau International
Financial Report Standard (IFRS).
1. Standar
Akuntansi Keuangan Indonesia
Indonesia sebagai
salah satu negara
yang sedang berkembang tentu saja sangat jauh berbeda bila dibandingkan
dengan negara maju
seperti Amerika Serikat maupun negara maju lainnya baik dalam praktek
bisnis maupun standar
dan praktek akuntansinya. Praktek
bisnis yang telah berkembang di
negara maju dan
telah dibuat standar akuntansinya
namun praktek bisnis tersebut belum berkembang di Indonesia
tentu saja belum memerlukan standar
akuntansi. Sementara praktek bisnis
yang berkembang di
Indonesia namun tidak berkembang
di negara lainnya termasuk di
negara-negara maju, maka
dibuat standar akuntansinya seperti
standar akuntansi untuk perbankan
syariah.
2. Standar
Akuntansi Keuangan Amerika Serikat
Amerika merupakan
salah satu Negara maju di dunia
yang mempunyai pengaruh
politik, ekonomi, sosial budaya
termasuk akuntansi terhadap sesama
Negara maju maupun
Negara berkembang sangat kuat.
Dapat diibaratkan apa yang
terjadi di Amerika
sekarang secara perlahan atau
cepat akan ditiru
di Negara lain.
Khusus mengenai praktek bisnis
di Amerika berkembang begitu pesat
yang pada akhirnya
memerlukan standard praktek akuntansi
yang berkembang pula sesuai
dengan perkembangan bisnis
yang terjadi. Bila dibandingkan
dengan Standar Akuntansi Keungan
Indonesia maupun Standar Akuntansi Internasional
maka standar akuntansi keuangan di
Amerika jauh lebih
banyak akibat praktek bisnis yang
memang lebih beragam.
3. Standar
Akuntansi Internasional (IAS / IFRS)
International Accounting Standard/International Financial
Reporting Standard
dikeluarkan oleh International Accounting Standard
Board atau Badan
Standar Akuntansi
Internasional. Mengingat tujuan penyusunan standar akuntansi tersebut
untuk dapat dipergunakan sebanyak mungking negara di dunia maka dalam
penyusunan standar akuntansi
tertentu saja Badan
Standar Akuntansi Internasional mempertimbangkan kondisi
sebagian besar negara sehingga
sesuai dengan kebutuhan
mereka. Bila kita bandingkan
dengan standar akuntansi Amerika maka
dari segi jumlah
standar yang dikeluarkan Badan Standar
Akuntansi Internasional
jauh lebih sedikit
karena memang mereka tidak
mengacu pada perkembangan
bisnis dan kebutuhan akuntansi
di Amerika saja melainkan pada
sebagian besar negara
sehingga standar akuntansi yang
mereka keluarkan dapat diadopsi baik sebagian maupun
sepenuhnya. Ketiga standar akuntansi
tersebut baik yang berlaku di Indonesia, Amerika Serikat,
dan standar Internasional, maka secara
kuantitas jelas tampak perbedaan yang
nyata. Bila melihat
dari segi jumlah standar
maka standar akuntansi
di Indonesia bila dibandingkan
dengan Amerika Serikat hanya
kurang lebih sepertiganya
saja sementara bila dibandingkan
dengan standar akuntansi internasional
standar akuntansi di Indonesia
lebih banyak. Perbedaan jumlah
standar akuntansi di Amerika yang
jauh lebih banyak dari Indonesia dapat
dijelaskan bahwa tingkat perkembangan ekonomi
Amerika jauh lebih
maju bila dibandingkan dengan
Indonesia sehingga di Amerika
telah berkembang berbagai
jenis instrumen yang dapat
dikategorikan ke dalam rekening harta,
kewajiban, maupun ekuitas.
Sementara bila di
Indonesia ada standar akuntansi yang
sudah berlaku di Amerika tetapi belum ada di Indonesia menunjukkan
bahwa untuk Indonesia hal
tersebut masih dipandang
belum mendesak atau penting mengingat
frekuensi terjadinya masih rendah atau bahkan belum timbul sama sekali.
Sementara standar akuntansi
internasional yang lebih sedikit
bila dibandingkan dengan Amerika bahkan Indonesia dapat
dijelaskan bahwa standar akuntansi
internasional berusaha sebanyak
mungkin dapat mengadopsi
berbagai keragaman standar akuntansi
di berbagai negara
di dunia. Standar akuntansi
internasional tersebut diharapkan
banyak negara yang dapat mengadopsi
atau menggunakan standar
yang ada untuk diberlakukan di
negara masing-masing. Semakin
banyaknya negara yang
menggunakan standar
akuntansi internasional berarti
telah terjadi penyeragaman standar
akuntansi meskipun belum sepenuhnya, mengingat
seperti di Amerika
berarti masih ada standar
akuntansi lainnya yang
belum tercakup dalam standar akuntansi internasional.
2.6
Perkembangan
Harmonisasi Akuntansi Internasional
Usaha untuk mengharmonisasikan akuntansi secara internasional
sudah dimulai sejak
lama bahkan sebelum terbentuknya
International Accounting
Standard Commitee (IASC)
didirikan pada tahun 1973.
Pada tahun 1959,
Jacob Krayenhof, mitra pendiri
sebuah firma akuntan
independen Eropa yang
utama mendorong agar usaha
pembuatan standar akuntansi
internasional dimulai. Pada tahun
1976, Organisasi untuk
Kerjasama dan Pembangunan
Ekonomi (Organization for Economic
Cooperation and Development -
OECD) mengeluarkan Deklarasi Investasi dalam
Perusahaan Multinasional yang berisi
panduan untuk ”Pengungkapan
Informasi”.
Tahun 1978 Komisi
Masyarakat Eropa
mengeluarkan Dekrit Keempat
sebagai langkah pertama menuju
harmonisasi akuntansi Eropa. Pada tahun
1981 IASC mendirikan
kelompok konsultatif yang terdiri dari organisasi non anggota untuk memperluas
masukan-masukan dalam pembuatan standar
internasional. Di tahun
1984, Bursa Efek London menyatakan bahwa
pihaknya berharap agar perusahaan-perusahaan yang mencatatkan sahamnya
tetapi tidak didirikan
di Inggris dan Irlandia
menyesuaikan dengan
akuntansi internasional. Tahun
2001 Badan Standar Akuntansi Internasional (International
Accounting Standard Board–IASB) menggantikan IASC dan
mengambil alih tanggungjawab
per tanggal 1 April
2001. Standar IASB
disebut Standar Pelaporan
Keuangan Internasional (International Financial
Report Standard–IFRS) dan termasuk
di dalamnya IAS
yang dikeluarkan IASC. Di
tahun 2002 Parlemen
Eropa menyetujui proposal Komisi
Eropa bahwa secara
nyata seluruh perusahaan Uni
Eropa yang tercatat sahamnya harus
mengikuti standar IASB
dimulai selambat-lambatnya
tahun 2005 dalam
laporan keuangan konsolidasi. Pada
tahun yang sama IASB
dan FASB menandatangani ”
Perjanjian Norwalk ” yang berisi komitmen bersama terhadap konvergensi standar
akuntansi internasional dan Amerika Serikat.
Pada tahun 2008,
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) pada
hari Selasa, 23
Desember 2008 dalam rangka
Ulang tahunnya ke-51
mendeklarasikan rencana
Indonesia untuk convergence
terhadap International
Financial Reporting Standards (IFRS) dalam
pengaturan standar akuntansi keuangan. Pengaturan
perlakuan akuntansi yang konvergen dengan
IFRS akan diterapkan
untuk penyusunan laporan keuangan
entitas yang dimulai pada atau
setelah tanggal 1 Januari 2012. Hal
ini diputuskan setelah
melalui pengkajian dan
penelaahan yang mendalam
dengan mempertimbangkan
seluruh risiko dan
manfaat konvergensi terhadap IFRS.
International Financial
Reporting Standards (IFRS) dijadikan sebagai referensi
utama pengembangan standar akuntansi keuangan
di Indonesia karena
IFRS merupakan standar yang
sangat kokoh. Penyusunannya didukung
oleh para ahli
dan dewan konsultatif internasional
dari seluruh penjuru dunia.
Mereka menyediakan waktu
cukup dan didukung dengan
masukan literatur dari ratusan
orang dari berbagai
displin ilmu dan
dari berbagai macam jurisdiksi
di seluruh dunia. Dengan
telah dideklarasikannya program konvergensi terhadap
IFRS ini, maka
pada tahun 2012 seluruh
standar yang dikeluarkan
oleh Dewan Standar Akuntansi
Keuangan IAI akan mengacu kepada IFRS dan diterapkan oleh
entitas.
2.7
Kendala
adopsi IFRS di Indonesia
1. Kurang
siapnya infrastruktur.
2. Kondisi
peraturan perundang-undangan yang belum tentu sinkron dengan IFRS.
3. Kurang
siapnya sumber daya manusia dan dunia pendidikan di Indonesia. Dilihat dari
minimnya pengajaran dan pembahasan topik-topik akuntansi keuangan terkait IFRS,
karena IFRS belum dijadikan mata kuliah pokok program pendidikan akuntansi di
Indonesia.
4. Proses
penerjemahan IFRS menjadi PSAK. Terkadang membutuhkan waktu yang relatif lama
dan terkadang juga memberikan makna yang berbeda dengan sumber aslinya.
2.8
Kesiapan
Indonesia mengadopsi IFRS secara penuh
Sejak
tahun 1994, Indonesia sebenarnya telah mengadopsi sebagian besar IAS. PSAK dan
ISAK yang diberlakukan sejak tahun 1994 adalah saduran dari IAS dan SIC yang
diterbitkan sebelum tahun 1994. DSAK (Dewan Standar Akuntansi Keuangan) yang berada dibawah IAI telah mencanangkan
adopsi penuh IAS dan IFRS yang telah rampung pada tahun 2010 dan mulai
menerapkannya di tahun 2012.
Indonesia saat ini belum mewajibkan
bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia menggunakan IFRS melainkan masih mengacu
kepada standar akuntansi keuangan lokal. Dewan Pengurus Nasional IAI bersama-sama
dengan Dewan Konsultatif SAK dan Dewan SAK merencanakan tahun 2012 akan
menerapkan standar akuntansi yang mendekati konvergensi penuh kepada IFRS. Indonesia
sebenarnya masih memiliki banyak regulasi yang tidak mendukung sehingga adopsi
penuh IFRS sulit dilakukan.
Berdasarkan
proposal konvergensi yang telah dikeluarkan IAI, proses adopsi dibagi menjadi
tiga tahap yaitu:
1. Tahap
adopsi, yaitu dengan mengadopsi seluruh IFRS terakhir kedalam PSAK pada tahun 2008-2010.
2. Tahap
persiapan, yaitu penyiapan seluruh infrastruktur pendukung untuk implementasi
PSAK yang sudah mengadopsi seluruh IFRS pada tahun 2011.
3. Tahap
implementasi, yaitu penerapan PSAK yang sudah mengadopsi seluruh IFRS bagi
perusahaan-perusahaan yang memiliki akuntabilitas publik pada tahun 2012.
Jadi,
beralih ke IFRS bukanlah sekedar pekerjaan mengganti angka-angka dilaporan
keuangan, tetapi mungkin akan mengubah pola pikir dan cara semua elemen didalam
perusahaan.
2.9
Faktor yang mempengaruhi praktik
akuntansi di berbagai Negara
1. Lingkungan
sosial
Horrison dan McKinnon (1986) mengembangkan suatu
kerangka pikir untuk menjelaskan bagaimana sistem pelaporan akuntansi berubah.
Berdasarkan kerangka tersebut, perubahan pada akuntansi merupakan produk dari
interaksi kejadian-kejadian dilapangan dan interaksi antara praktik akuntansi
dan lingkungan sosial.
2. Ekonomi
1) Tingkat
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
Perubahan
struktur perekonomian dari agraris ke manufaktur akan menampilkan sisi lain
dari system akuntansi, antara lain dengan mulai memperhitungkan depresiasi
mesin. Industri
jasa juga memunculkan pertimbangan atas pencatatan aktiva tak berwujud seperti
merk, goodwill, dan sumber daya manusia.
2) Tingkat
inflasi
Timbulnya
hyperinflation di beberapa Negara
dikawasan Amerika Selatan membuat adanya pemikiran untuk menggunakan pendekatan
lain sebagai alternatif dari pendekatan hystorical
cost.
3) Sumber
pendanaan
Kebutuhan akan
informasi dan pertanggungjawaban kepada public lebih besar ditemui pada
perusahaan-perusahaan yang mendapatkan sumber pendanaan dari pemegang saham
eksternal dibandingkan dengan perusahaan dengan sumber pendanaan dari perbankan
atau dari dana keluarga.
4) Sistem
perpajakan
Negara-negara seperti perancis dan
Jerman menggunakan laporan keuangan perusahaan sebagai dasar penentuan utang
pajak penghasilan, sedangkan negara seperti Amerika Serikat dan Inggris
menggunakan laporan keuangan yang telah disesuaikan dengan aturan perpajakan
sebagai dasar penentuan utang pajak dan
disampaikan terpisah dengan laporan keuangan untuk pemegang saham.
3. Politik
Sistem
politik yang dijalankan oleh suatu negara sangat berpengaruh pada system
akuntansi yang dibuat untuk menggambarkan filosofi dan tujuan politik dinegara
tersebut, seperti halnya pilihan atas perencanaan terpusat (Central Planning) atau swastanisasi (Private Interprises).
4. Budaya
Violet (1983)
menyatakan bahwa bahasa merupakan variabel budaya yang paling penting. Bahasa
merupakan pondasi untuk mempromosikan budaya. Memandang akuntansi adalah bahasa
bisnis. Dari sini dapat disimpulkan bahwa prinsip akuntansi akan bervariasi
tergantung dari variasi budaya yang dimiliki oleh negara yang bersangkutan.
2.10
Implikasi
Bagi Standar dan Praktek Akuntansi, serta Solusi terhadap
Penerapan IFRS di Indonesia.
Indonesia
merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari bisnis
internasional atau global tentu
saja juga akan
menghadapi permasalahan
dalam standar maupun
praktek akuntansinya yang mau
tidak mau harus
menyesuaikan diri dengan perkembangan akuntansi
yang berlaku secara internasional. Beberapa
negara maju antara
lain Perancis telah memberikan
kebebasan kepada perusahaan untuk
menggunakan standar akuntansi Perancis maupun
standar akuntansi internasional yaitu Ineternational Financial
Report Standard yang dikeluarkan
oleh International Accounting Standard Board.
Pemberian kebebasan kepada perusahaan untuk
menggunakan IFRS tentu
saja dapat menjadi kecenderungan
bagi negara lainnya yang
pada akhirnya akan
mendorong penggunaan IFRS secara
meluas di berbagai
negara termasuk Indonesia.
Namun
demikian merujuk pada
faktor-faktor yang mempengaruhi praktek
akuntansi, maka Indonesia tidak
dengan serta merta
mengadopsi IFRS secara penuh
atau mutlak mengingat perbedaan faktor
pendukung sehingga harus dilakukan kajian
terlebih dahulu standar
mana yang sudah dapat
diadopsi dan diterapkan
di Indonesia dan standar
mana yang belum
dapat diadopsi untuk diterapkan
di Indonesia, dengan demikian penerapan
IFRS dibatasi terlebih
dahulu hanya pada perusahaan-perusahaan yang mempunyai kemampuan
penyesuaian tinggi terhadap perubahan
penggunaan standar yang berlaku
di Indonesia ke
IFRS. Perusahaan penanaman modal
asing (PMA) dan
perusahaan yang telah go
publik mungkin merupakan perusahaan-perusahaan yang
telah siap beralih dari
penggunaan standar akuntansi
Indonesia ke dalam standar
akuntansi internasional mengingat selama ini
mereka telah berinteraksi
dengan investor, kreditor dan
badan-badan internasional.
Hal ini
mengingat di Indonesia
terdapat heteroginitas perusahaan dari
perusahaan skala mikro, kecil,
menengah hingga yang besar.
Perbedaan
karakteristik perusahaan ini
tentu saja menuntut pemberlakukan
standar akuntansi yang berbeda
sehingga masing-masing kelompok perusahaan dapat memilih standar
akuntansi sesuai dengan
karakteristik perusahaan. Khusus mengenai usaha
mikro, kecil, dan
menengah misalnya saat ini
sedang pada tahap
penyerapan aspirasi dari berbagai
pihak yang berkepentingan guna penerapan
standar akuntansi bagi
usaha mikro, kecil dan
menengah, maka pada
satu sisi Indonesia dapat
menerima dan mengadopsi standar akuntansi
yang berlaku secara internasional sehingga
akan meningkatkan daya banding
laporan keuangan perusahaan-perusahaan yang beroperasi
di Indonesia. Sementara
di sisi yang lain
Indonesia masih dapat
memberikan ruang gerak bagi
penerapan standar yang bersifat nasional bagi
perusahaan-perusahaan yang secara teknis
belum dapat menyesuaikan
dengan standar akuntansi yang
berlaku secara internasional.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa sejumlah besar perusahaan
secara sukarela mengadopsi standard pelaporan keuangan Internasional (IFRS).
Banyak Negara yang telah mengadopsi IFRS secara keseluruhan dan menggunakan
IFRS sebagai dasar standard nasional. Hal ini dilakukan untuk menjawab
permintaan investor institusional dan pengguna laporan keuangan lainnya. Banyak
pro dan kontra dalam penerapan standard internasional, namun seiring waktu,
Standard internasional telah bergerak maju, dan menekan Negara-negara yang
kontra.
Indonesia harus mengadopsi standar
akuntansi internasional untuk memudahkan perusahaan asing yang akan menjual
saham di negara ini atau sebaliknya. SAK Indonesia
direncanakan akan mengadopsi penuh IFRS tahun 2012. Hal ini diharapkan akan
semakin membawa perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat bersaing dengan
perusahaan internasional lainnya karena dengan melakukan adopsi ini tentunya
penyajian laporan keuangan yang dilakukan oleh perusahaan juga akan semakin
akuntabel dan transparan.
DAFTAR PUSTAKA
Anjasmoro, Mega.
2010. Adopsi InternasionalFinancial Report Standard. “Kebutuhan atau Paksaan?”
Studi KasusPada PT. GarudaAirlines Indonesia. Skripsi. Universitas Diponegoro.
Purba, marsini.
2010. International Financial
Reporting Standards. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
http://febiaziza070809.blogspot.com/2011/11/makalah-ifrs.html
Lingkungan Sosial Ekonomi Akuntansi
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Selama ini perusahaan dianggap sebagai
lembaga yang dapat memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat. Ia bisa
memberikan kesempatan kerja, menyediakan barang yang dibutuhkan masyarakat
untuk dikonsumsi, ia membayar pajak, memberikan sumbangan, dan lain-lain.
Karenanya perusahaan mendapat legitimasi bergerak leluasa melaksanakan
kegiatannya.
Namun, lama kelamaan karena memang
perusahaan ini dikenal juga sebagai “binatang ekonomi” yang mencari keuntungan
sebesar-besarnya, akhirnya semakin disadari bahwa dampak yang dilakukannya
terhadap masyarakat cukup besar dan semakin lama semakin besar yang sukar
dikendalikan seperti polusi, keracunan, kebisingan, diskriminasi, pemaksaan,
kesewenang-wenangan, dan produksi makanan haram. Dampak luar ini disebut Externalities.
Karena besarnya dampak externalities
terhadap kehidupan masyarakat, masyarakat pun menginginkan agar dampak ini
dikontrol sehingga dampak negatif, external
diseconomy atau social cost yang
ditimbulkannya tidak semakin besar. Dari sini berkembanglah ilmu akuntansi yang
selama ini dikenal hanya memberikan inormasi tentang kegiatan perusahaan dengan
pihak ketiga, maka dengan adanya tuntutan ini maka akuntansi bukan hanya
merangkum informasi tentang hubungan perusahaan dengan pihak ketiga, tetapi
juga dengan lingkungannya. Hubungan perusahaan dengan lingkungannya bersifat non-reciprocal artinya transaksi itu
tidak menimbulkan prestasi timbal-balik dari pihak yang berhubungan. Ilmu
akuntansi yang mencatat, mengukur, melaporkan, externalities ini disebut dengan Socio Economy Accounting (SEA) atau sebagian menyebutnya akuntansi
sosial.
Ilmu Socio
Economy Accounting (SEA) atau akuntansi sosial ini merupakan bidang ilmu
akuntansi yang berfungsi dan mencoba mengindentifikasi, mengukur, menilai,
melaporkan aspek-aspek social benefit dan social cost yang ditimbulkan oleh
lembaga. Pengukuran ini pada akhirnya akan diupayakan sebagai informasi yang
dijadikan dasar dalam proses pengambilan keputusan untuk meningkatkan peran
lembaga, baik perusahaan atau yang lain untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat dan lingkungan secara keseluruhan.
Defenisi dari Ahmed Belkaoui menyatakan
bahwa “SEA timbul dari penerapan akuntansi dalam ilmu sosial, ini menyangkut
peraturan, pengukuran analisis, dan pengungkapan pengaruh ekonomi dan sosial
dari kegiatan pemerintah dan perusahaan. Hal ini termasuk kegiatan yang
bersifat mikro dan makro. Pada tingkat makro bertujuan untuk mengukur dan
mengungkapkan kegiatan ekonomi dan sosial negara mencakup social accounting dan
reporting peranan akuntansi dalam pembangunan ekonomi. Pada tingkat mikro
bertujuan untuk mengukur dan melaporkan pengaruh kegiatan perusahaan terhadap
lingkungannya, mencakup : financial dan
managerial social accounting, social
auditing.”
Social Economy Accounting merupakan
pengukuran mengenai bagaimana efisiensi suatu sistem ekonomi berfungsi dan
memberikan data periodik yang menyangkut indikasi posisi suatu negara
menyangkut ukuran externalities. SEA sangat diperlukan dalam suatu sistem ekonomi
yang bercirikan sintese, dari ekonomi
antara Social Economy dan Institutional Economy. Social Economy
mempunyai komitmen yang dalam terhadap kesejahteraan manusia dan keadilan,
sedangkan institutionalist mempunyai komitmen yang besar terhadap pragmatisme
dalam menganalsis sosial ekonomi masyarakat. Negara kita adalah negara yang
memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya, oleh karena itu SEA ini penting
diterapkan bahkan diharuskan untuk diterapkan oleh semua perusahaan dan lembaga
di negara kita.
2. Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan penyusunan makalah ini adalah :
1. Memberi
gambaran tentang posisi akuntan terhadap sosial ekonomi akuntansi,
2. Memberi
gambaran bagaimana solusi akuntan terhadap penerapan prinsip dan standar
akuntansi,
3. Memberi
gambaran bagaimana pelaporan sosial ekonomi akuntansi,
4. Memberi
gambaran corporate social responsibility perusahaan
terhadap isu-isu yang berkembang dimasyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
- Teori-Teori Yang Berkaitan Dengan Posisi Akuntan
1.1.Teori agensi
Menurut
ikhsan dan ishak (2005), teori agensi didasarkan pada teori ekonomi. Dari sudut
pandang teori agensi, prinsipal (pemilik
atau manajer puncak) membawahi agen (karyawan atau manajer yang lebih rendah)
untuk melaksanakan kinerja yang efisien. Teori ini mengasumsikan kinerja yang efisien
dan bahwa kinerja organisasi ditentukan oleh usaha dan pengaruh kondisi
lingkungan.
Teori ini
secara umum mengasumsikan bahwa prinsipal bersifat netral terhadap resiko dan
sementara agen bersifat menolak usaha dan resiko. Agen dan prinsipal diasumsikan
termotivasi oleh kepentingannya sendiri, dan sering kali kepentingan antara
keduanya berbenturan. Menurut pandangan prinsipal, kompensasi yang diberikan
kepada agen tersebut didasarkan pada hasil, sementara menurut pandangan agen,
dia lebih suka jika sistem kompensasi tersebut tidak semata-mata melihat hasil
tetapi juga tingkat usaha.
Adanya
perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen menyebabkan timbulnya asimetri
informasi, dimana agen lebih mengetahui kondisi riil perusahaan dibandingkan
dengan prinsipal, sehingga prinsipal tidak tahu apakah usaha yang dilakukan
agen memang sudah benar-benar optimal.
1.2.Teori stakeholder
Berdasarkan teori stakeholder (Ihyaul, 2009),
manajemen organisasi diharapkan untuk melakukan aktivitas yang dianggap penting
oleh stakeholder mereka dan melaporkan kembali aktivitas-aktivitas tersebut
pada stakeholder. Teori ini menyatakan bahwa seluruh stakeholder memiliki hak
untuk disediakan informasi tentang bagaimana aktivitas organisasi mempengaruhi
mereka (sebagai contoh melalui polusi, sponsorship, inisiatif pengamanan, dan
lain-lain), bahkan ketika mereka memilih untuk tidak menggunakan informasi
tersebut dan bahkan ketika mereka tidak dapat secara langsung memainkan peran
yang konstruktif dalam kelangsungan hidup organisasi.
Lebih lanjut Ihyaul (2009) menyatakan
bahwa teori stakeholder menekankan akuntabilitas organisasi jauh melebihi
kinerja keuangan atau ekonomi sederhana. Teori ini menyatakan bahwa organisasi
akan memilih secara sukarela mengungkapkan informasi tentang kinerja lingkungan,
sosial dan intelektual mereka, melebihi dan di atas permintaan wajibnya, untuk
memenuhi ekspektasi sesungguhnya atau yang diakui oleh stakeholder.
Tujuan utama dari stakeholder adalah
untuk membantu manajer korporasi mengerti lingkungan stakeholder mereka dan melakukan
pengelolaan dengan lebih efektif di antara keberadaan hubungan-hubungan di
lingkungan perusahaan mereka. Namun demikian, tujuan yang lebih luas dari teori
stakeholder adalah untuk menolong manajer korporasi dalam meningkatkan nilai
dari dampak aktifitas-aktifitas mereka, dan meminimalkan kerugian-kerugian bagi
stakeholder. Pada kenyataannya, inti keseluruhan teori stakeholder terletak
pada apa yang akan terjadi ketika korporasi dan stakeholder menjalankan
hubungan mereka.
Teori stakeholder harus dipandang dari
kedua bidangnya, yaitu baik bidang etika (moral) maupun bidang manajerial.
Bidang etika berargumen bahwa seluruh stakeholder memiliki hak untuk
diperlakukan secara adil oleh organisasi, dan manajer harus mengelola organisasi
untuk keuntungan seluruh stakeholder (Ihyaul, 2009). Ketika manajer mampu
mengelola organisasi secara maksimal, khususnya dalam upaya penciptaan nilai
bagi perusahaan, maka itu artinya manajer telah memenuhi aspek etika dari teori
ini.
Penciptaan nilai (value cretion) dalam
konteks ini adalah dengan memanfaatkan seluruh potensi yang dimiliki
perusahaan, baik karyawan (human capital), aset fisik (physical capital),
maupun structural capital. Pengelolaan yang baik atas seluruh potensi ini akan
menciptakan value added bagi perusahaan yang kemudian dapat mendorong kinerja
keuangan perusahaan untuk kepentingan stakeholder.
Bidang manajerial dari teori stakeholder
berpendapat bahwa kekuatan stakeholder untuk mempengaruhi manajemen korporasi
harus dipandang sebagai fungsi dari tingkat pengendalian stakeholder atas
sumber daya yang dibutuhkan organisasi (Ihyaul, 2009 ). Ketika para stakeholder
berupaya untuk mengendalikan sumber daya organisasi, maka orientasinya adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Kesejahteraan tersebut diwujudkan
dengan semakin tingginya return yang dihasilkan oleh organisasi.
Dalam konteks ini, para stakeholder
berkepentingan untuk mempengaruhi manajemen dalam proses pemanfaatan seluruh
potensi yang dimiliki oleh organisasi. Karena hanya dengan pengelolaan yang
baik dan maksimal atas seluruh potensi inilah organisasi akan dapat menciptakan
value added untuk kemudian mendorong kinerja keuangan perusahaan yang merupakan
orientasi para stakeholder dalam mengintervensi manajemen.
1.3.Teori legitimasi
Teori leigitimasi berhubungan erat
dengan teori stakeholder. Teori legitimasi menyatakan bahwa organisasi secara
berkelanjutan mencari cara untuk menjamin operasi mereka berada dalam batas dan
norma yang berlaku di masyarakat (Ihyaul, 2009). Menurut Ihyaul (2009), dalam
perspektif teori legitimasi, suatu perusahaan akan secara sukarela melaporkan
aktifitasnya jika manajemen menganggap bahwa hal ini adalah yang diharapkan
komunitas. Teori legitimasi bergantung pada premis bahwa terdapat “kontrak
sosial” antara perusahaan dengan masyarakat di mana perusahaan tersebut
beroperasi. Kontrak sosial adalah suatu cara untuk menjelaskan sejumlah
besar harapan masyarakat tentang
bagaimana seharusnya organisasi melaksanakan operasinya. Harapan sosial ini tidak
tetap, namun berubah seiring berjalannya waktu. Hal ini menuntut perusahaan
untuk responsif terhadap lingkungan di mana mereka beroperasi (Ihyaul, 2009).
Berdasarkan teori legitimasi (Ihyaul,
2009), organisasi harus secara berkelanjutan menunjukkan telah beroperasi dalam
perilaku yang konsisten dengan nilai sosial. Hal ini seringkali dapat dicapai
melalui pengungkapan (disclosure) dalam laporan perusahaan. Organisasi dapat
menggunakan disclosure untuk mendemostrasikan perhatian manajemen akan nilai sosial,
atau untuk mengarahkan kembali perhatian komunitas akan keberadaan pengaruh
negatif aktifitas organisasi. Sejumlah studi terdahulu melakukan penilaian atas
pengungkapan sukarela laporan tahunan dan memandang pelaporan informasi
lingkungan dan sosial sebagai metode yang digunakan organisasi untuk merespon
tekanan publik.
2. Posisi akuntan dalam lingkungan sosial ekonomi
akuntansi
Menurut Arfan dan Ishak (2005), Walaupun para
akademisi dan praktisi akuntan telah membahas bagaimana profesi mereka dapat memberikan
kontribusi pada tanggung jawab sosial perusahaan sebelum terjadinya gerakan
pada tahun 1960-an, kemajuan utama dalam bidang ini dibuat sejak akhir 1970-an.
Pada tahun
1960-an dan awal tahun 1970-an banyak yang memerhatikan kebutuhan akan akuntansi
sosial perusahaan. Robert Bayer menulis:
“pembatasan pada penggunaan udara dan air yang
“bebas”, juga merupakan masalah akuntansi sosial. Masyarakat kini menguji
biaya-biaya yang selalu ada. Biaya dalam hal kehidupan dan kematian, bangunan
dan benda seni yang hancur, pantai yang tercemar, daun-daun yang rusak, dan
berbagai dampak berbahaya lainnya dari polusi. Satu-satunya perbedaan adalah
bahwa biaya-biaya ini ditransfer sejauh mungkin dari komunitas secara luas
kepada pihak-pihak yang menimbulkannya dan memperoleh keuntungan
darinya.”(Bayer, 1972)
Secara ringkas, literatur awal sosial ekonomi
akuntansi (Arfan dan Ishak, 2005) menyatakan bahwa para akuntan diperlukan
untuk menghasilkan data mengenai tanggung jawab perusahaan dan bahwa ada
pihak-pihak lain yang berkepentingan (selain perusahaan) yang akan tertarik
akan data-data ini. Selanjutnya, literatur tersebut mengembangkan suatu
kerangka kerja teoritis untuk akuntansi sosial, termasuk skema pelaporan dan
audit sosial aktual.
Sosial
ekonomi akuntansi (socio economic
accounting) atau yang lebih sering disebut akuntansi sosial (Theodorus,
1986), merupakan proses penataan pengukuran dan pengungkapan dampak pengukuran
antara perusahaan dan lingkungan masyarakatnya. Akuntansi sosial merupakan
pengejewantahan tanggung jawab kemasyarakatan yang dipikul oleh perusahaan dan
merupakan suatu panggilan baru bagi pertanggungjawaban perusahaan secara umum.
Pertukaran
antara perusahaan dan masyarakat terutama terdiri atas pemakaian sumber-sumber
kemasyarakatan (social resources) oleh
perusahaan yang mengakibatkan timbulnya social
cost. Sebaliknya apabila kegiatan perusahaan meningkatkan social resources maka yang terjadi
adalah social benefit. Tujuan dari
akuntansi sosial adalah mengukur dan mengungkapkan social cost dan social
benefit kepada masyarakat yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan
perusahaan.
Perusahaan
sering mengabaikan dampak kegiatan-kegiatan produksinya terhadap masyarakat.
Dalam ilmu ekonomi (Theodorus, 1986), dampak ini diberi bermacam-macam nama
seperti “third party effects”, “spillover effects” atau lebih jelasnya
“external economis” kalau dampak itu menguntungkan, atau “external diseconomis”
kalau dampak itu merugikan, atau secara umum diistilahkan externalities.
Sampai
hari hari ini usaha para ahli ekonomi untuk menilai externalities suatu
perusahaan dalam jumlah uang selalu mengalami kegagalan karena beberapa sebab.
Pertama, kebanyakan externalities memang sukar diukur karena adanya mata rantai
sebab akibat yang sangat rumit. Disamping itu pula, social cost banyak
tergantung kepada besarnya persepsi dan kesadaran masyarakat tentang masalah
itu.
Kasulitan-kesulitan
yang disebutkan diatas dapat menjelaskan mengapa perusahaan enggan menganut
akuntansi sosial. Menurut Theodorus (1986), social cost yang utama bagi
perusahaan adalah:
1. Merosotnya
faktor kemanusiaan dalam produksi,
2. Pencemaran
udara,
3. Pencemaran
air,
4. Berkurangnya
dan rusaknya sumber-sumber hewani,
5. Berkurangnya
sumber-sumber energi sebelum waktunya,
6. Erosi,
berkurangnya kesuburan tanah, dan gundulnya hutan-hutan,
7. Pengangguran.
Theodorus
(1986) mengklasifikasikan ruang lingkup utama yang perlu diperhatikan oleh
perusahaan mengenai akuntansi sosial sebagai berikut:
1.
Keterlibatan masyarakat,
Meliputi kegiatan-kegiatan yang terutama sekali
akan memberikan manfaat kepada masyarakat secara luas, misalnya pembangunan dan
pembiayaan rumah-rumah, kegiatan-kegiatan kedermawanan, perencanaan dan
perbaikan kampung dan lain-lain.
2.
Sumber-sumber daya manusia,
Misalnya kegiatan-kegiatan yang memberi manfaat
kepada pegawai, program latihan dan peningkatan keterampilan, perbaikan keadaan
dan suasana kerja, dan lain-lain.
3.
Sumber-sumber fisik dan sumbangan-sumbangan lingkungan,
Dimaksudkan mutu udara dan air serta
pengendalian pencemaran dan polusi disamping pemeliharaan atau konservasi
sumber-sumber alam.
4.
Sumbangan barang dan jasa perusahan,
Dimaksudkan pertimbangan mengenai dampak dari
produk perusahaan terhadap masyarakat, yakni memperhatikan mutu, pembungkus,
iklan, dan lain-lain.
Tetapi
kita harus menyadari akuntansi sosial tidak diterima secara universal sebagai
suatu bidang oleh para akademisi dan praktisi akuntan, dan tidak semua orang
percaya bahwa perusahaan harus menghasilkan data akuntansi sosial. Masih banyak
yang harus diteliti untuk membenarkan keberadaan akuntansi sosial. Hal ini
terutama bagi para pengusaha yang berfikir liberal yang hanya memperhatikan
kepuasan individu tanpa memperhatikan dampak yang timbul dari setiap kegiatan
yang dilakukannya.
Tetapi setidaknya para akuntan harus
memahami ada faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam setiap laporan yang
dibuatnya. Tidak diakuinya akuntansi sosial secara umum tidak harus menyebabkan
para akuntan mundur dalam merumuskan kebijakan akuntansi sosial. Seperti
akuntansi manajemen yang fleksibel, maka seharusnya akuntansi sosial juga
dilaporkan dengan memahami kondisi di sekitar kita.
3.
Pendorong Munculnya Akuntansi Sosial
Menurut
Sofyan (1997), akuntansi sosial timbul karena adanya kecenderungan dari para
ahli untuk mengalihkan kesejahteraan individu ke arah kesejahteraan sosial.
Kecenderungan yang bergerak dari kegiatan mancari keuntungan sebesar-besarnya
tanpa melihat efek samping ke arah mencari laba yang berwawasan lingkungan.
Kecenderungan ini dapat kita lihat dari beberapa paradigma berikut:
a.
Kecenderungan terhadap kesejahteraan sosial
Sejarah
menunjukkan bahwa kelangsungan hidup manusia, kesejahteraan masyarakat yang
sebenarnya hanya dapat lahir dari sikap kerja sama antar unit-unit masyarakat
itu sendiri. Perusahaan tidak akan maju tanpa dukungan dari konsumen dan
lingkngan sosialnya. Kenyataan ini semakin disadari dan semakin dibutuhkan
pertanggungjawabannya. Untuk mengetahui keterkaitan antara perusahaan dan
lingkungan disekitarnya, mak akuntansi sosial ini sangat berperan.
b.
Kecenderungan terhadap kesadaran lingkungan
Ada
sebuah paradigma yang meyakini bahwa manusia adalah mahluk diantara macam-macam
mahkluk yang mendiami bumi yang saling mempunyai keterkaitan dan sebab akibat
dan dibatasi oleh sifat keterbatasan dunia itu sendiri, baik sosial, ekonomi
atau politik. Belakangan manusia semakin menyadari bahwa paradigma itu benar
dan bisa dijadikan pedoman, sehingga perhatian kepada lingkungan semakin besar.
c.
Persepektif ekosistem
Orientasi
yang terlalu diarahkan kepada pembangunan ekonomi, efisiensi, profit
maximization menimbulkan krisis ekosistem. Tanpa pembatasan terhadap tingkah
laku manusia maka akan menyebabkan terjadinya kerusakan dan kehancuran sehingga
terjadi ketidakseimbangan terhadap ekosistem. Perspektif terhadap ekosistem ini
mendorong lahirnya akuntansi sosial.
d.
Ekonomisasi vs sosialisasi
Ekonomisasi
mengarah perhatian hanya kepada kepuasan individual yang hanya mempertimbangkan
cost dan benefit tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat.sedangkan
sosialisasi memperhatikan fokusnya terhadap kepentingan sosial dan selalu
mempertimbangkan efek sosial yang ditimbulkan oleh kegiatannya. walau
sosialisasi ini belum tampak nyata namun pengaruh pemerintah dan tekanan sosial
cenderung menguntungkan kepentingan sosial. Akhirnya perlu alat ukur sampai
sejauh mana pengaruh perusahaan terhadap masyarakat sehingga lahirlah akuntansi
sosial.
4.
Pro kontra akuntansi sosial berkaitan dengan tanggung jawab sosial
perusahaan
Persoalan
apakah perusahaan perlu mempunyai tanggung jawab sosial atau tidak masih terus
merupakan perdebatan ilmiah. Masing-masing mengemukakan pendapat dan
dukungannya dan mengklaim bahwa idenya lah yang paling benar.
Menurut
Sofyan (1997), ada beberapa alasan pendukung agar perusahaan memiliki etika dan
tanggung jawab sosial, yaitu:
a)
Keterlibatan sosial merupakan respon terhadap keinginan dan harapan
masyarakat terhadap peranan perusahaan,
b)
Keterlibatan sosial mungkin akan memengaruhi perbaikan lingkungan,
masyarakat, yang mungkin akan menurunkan biaya produksi,
c)
Meningkatkan nama baik perusahaan, akan menimbulkan simpati langganan,
simpati karyawan, investor dan lain-lain,
d)
Menghindari campur tangan pemerintah dalam melindungi masyarakat,
e)
Dapat menunjukkan respon positif perusahaan terhadap norma dan nilai
yang berlaku dalam masyarakat,
f)
Sesuai dengan keinginan para pemegang saham dalam hal ini publik,
g)
Mengurangi tensi kebencian masyarakat terhadap perusahaan,
h)
Membantu kepentingan nasional.
Dipihak
lainalasan para penantang yang tidak menyetujui konsep tanggung jawab perusahaan
ini adalah sebagai berikut:
a)
Mengalihkan perhatian perusahaan dari tujuannya yaitu mencari laba,
b)
Memungkinkan keterlibatan perusahaan terhadap permainan kekuasaan atau
politik,
c)
Dapat menimbulkan lingkungan bisnis yang monolitik,
d)
Keterlibatan sosial memerlukan dana dan tenaga yang cukup besar
5.
Pelaporan eksternal akuntansi sosial
Kerangka
kerja akuntansi sosial belum secara penuh dikembangkan dan terdapat masalah
pengukuran yang cukup serius mengenai biaya dan manfaat. Meskipun demikian
sejumlah penulis telah menyarankan agar perusahaan melaporkan kinerja akuntansi
sosialnya baik secara internal maupun secara eksternal. Pelaporan dalam
akuntansi sosial berarti memuat informasi yang menyangkut dampak positif atau
negatif yang ditimbulkan oleh perusahaan. Berikut adalah sekedar contoh
pelaporan akuntansi sosial:
PT. Ezly
Bazliyah
Socio
Economic Operating Report
31
Desember 1993
(dalam
ribuan)
1.
Kaitan dengan masyarakat:
A. Perbaikan:
a. Pelatihan orang cacat
Rp. 20.000
b. Sumbangan pada lembaga pendidikan
Rp. 8.000
c. Biaya ekstra karena merekrut minoritas
Rp. 10.000
d. Biaya penitipan bayi Rp. 22.000
Total
perbaikan
Rp. 60.000
B. Kerusakan:
Penundaan
pemasangan alat pengaman Rp. 28.000
Perbaikan
(bersih) untuk masyarakat (I) Rp.
32.000
2.
Kaitan dengan lingkungan:
A. Perbaikan:
a. Reklamasi lahan dan pembuatan taman Rp. 140.000
b. Biaya pemasangan kontrol polusi Rp.
8.000
c. Biaya pematian racun limbah Rp. 18.000
Total
perbaikan Rp. 166.000
B. Kerusakan:
1. Biaya yang dikeluarkan untuk reklamasi pertambangan Rp. 160.000
2. Taksiran biaya pemasangan penetral racun air
Rp. 200.000
Total
kerusakan Rp. 360.000
C. Defisit (II) (Rp. 194.000)
3.
Kaitan dengan produk:
A. Perbaikan:
1. Gaji eksekutif sewaktu melayani komisi pengamanan produk
Rp. 50.000
2. Biaya pengganti cat beracun
Rp. 18.000
Total
perbaikan
Rp. 68.000
B. Kerusakan:
1. Pemasangan alat pengaman produksi Rp. 44.000 -
C. Net perbaikan (III)
Rp. 24.000
Total
socio economic defisit 1993 (I+II+III) (Rp. 138.000)
Saldo kumulatif net perbaikan 1.01.93 Rp. 498.000
Saldo kumulatif net perbaikan 31.12.1993 Rp. 360.000
sumber: Sofyan Syafri Harahap, 1991, “teori akuntansi”, hal.205
6.
Corporate social responsibility (CSR)
CSR adalah komitmen perusahaan untuk
memberikan kontribusi jangka panjang terhadap satu isu tertentu dimasyarakat
atau lingkungan untuk dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik. Kontribusi
dari perusahaan ini bisa berupa banyak hal, misalnya : bantuan dana, bantuan
tenaga ahli dari perusahaan, bantuan berupa barang, dan lain-lain.
Disini perlu dibedakan antara program
Corporate Social Responsibility dengan kegiatan charity. Kegiatan charity hanya
berlangsung sekali atau sementara waktu dan biasanya justru menimbulkan
ketergantungan publik terhadap perusahaan. Sementara, program Corporate Social
Responsibility merupakn program yang berkelanjutan dan bertujuan menciptakan
kemandirian publik.
Corporate Social Responsibility (CSR)
bertujuan untuk :
1. Building
Human Capital
Secara
internal, perusahaan dituntut untuk meciptakan SDM yang andal. Secara
eksternal, perusahaan dituntut untuk melakukan pemberdayaan masyarakat,
biasanya community development.
2. Strengthening
Economies
Perusahaan
dituntut untuk tidak menjadi kaya sendiri sementara komunitas di lingkungannya
miskin, mereka harus memberdayakan ekonomi sekitar. Yaitu dengan mengadakan
pelatihan kerja maupun pemberian beasiswa bagi penduduk yang berprestasi, dan
memberi bantuan modal usaha.
3. Assessing
Social Chesion
Perusahaan
dituntut untuk menjaga keharmonisan dengan sekitarnya agar tidak menimbulkan
konflik.
4. Encouraging
Good Governence
Dalam
menjalankan bisnisnya, perusahaan harus menjalankan tata kelola dengan baik.
5. Protecting
The Environment
Perusahaan
berupa keras menjaga kelestarian lingkungan.
Isu-isu terbaru tentang kepedulian dunia
usaha dengan lingkungannya :
1. Cause
Promotions
Cause
promotions ini dapat dilakukan dalam bentuk seperti meningkatkan awarness dan
corcern masyarakat terhadap satu isu tertentu. Mengajak masyarakat untuk
mencari tahu secara lebih mendalam mengenai suatu isu tertentu di masyarakat.
Mengajak masyarakat untuk menyumbangkan uang, waktu ataupun barang milik mereka
untuk membantu mengatasi dan mencegah suatu permasalahan tertentu. Mengajak
orang untuk ikut berpartisipasi dalam menyelenggarakan event tertentu, misalnya
: mengetahui gerak jalan, menandatangani petisi, dan lain-lain.
2. Cause-related
Marketing
Dalam cause related marketing ini,
perusahaan akan mengajak masyarakat untuk membeli atau menggunakan produknya,
baik itu barang ataupun jasa, dimana sebagaian dari keuntungan yang didapat
perusahaan akan didonsikan untuk membantu mengatasi atau mencegah maslah
tertentu.
3. Corporate
Social Marketing
Corporate
social marketing berfokus pada bidang-bidang dibawah ini, yaitu: Bidang
kesehatan, misalnya mengurangi kebiasaan merokok, HIV/AIDS, kanker dan
lain-lain. Bidang keselamatan, misalnya keselamatan berkendara, pengurangan
peredaran senjata api, dan lain-lain. Bidang lingkungan hidup, misalnya
konservasi air, polusi, pengurangan penggunaan pestisida. Bidang masyarakat,
misalnya memberikan suara dalam pemilu, menyumbangkan darah, perlindungan
hak-ahk binatang.
4. Corporate
Philanthrophy
Corporate Philanthrophy ini dilakukan
perusahaan dengan memberikan kontribusi/sumbangan secara langsung dalam bentuk
dana, jasa atau alat kepada pihak yang membutuhkan baik itu lembaga, maupun
perorangan ataupun kelompok tertentu.
5. Corporate
Volunteering
Community
Volunteering adalah bentuk corporate social respontibility di mana perusahaan
mendorong atau mengajak karyawannya iktu terlibat dalam program corporate
social respontibiliy yang sedang dijalankan dengan jalan mengkontribusikan
waktu dan tenaganya.
Keuntungan
Melakukan Program Corporate Social Respontibility yaitu :
1. Mempertahankan
dan mendongkrak reputasi dan image perusahaan.
2. Layak
mendapatkan social lincence to operate.
3. Mereduksi
resiko bisnis perusahaan .
4. Melebarkan
akses sumber daya.
5. Membentangkan
akses menuju market.
6. Mereduksi
biaya.
7. Memperbaiki
hubungan dengan stakeholder.
8. Memperbaiki
hubungan dengan regulator.
9. Meningkatkan
semangat dan poduktivitas karyawan.
10. Peluang
mendapat penghargaan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1. KESIMPULAN
Dari
penjelasan diatas, maka dapat kita lihat bagaimana posisi akuntan dalam
kaitannya dengan sosial ekonomi akuntansi atau yang biasa kita sebut akuntansi
sosial. Akuntan bersama dengan praktisi dan akademisi adalah orang yang
mempunyai andil besar dalam merumuskan dan melaporkan pelaporan akuntansi.
Dalam
teori agensi, akuntan berperan sebagai agen yang ditunjuk oleh prinsipal
sebagai orang yang menjalankan perusahaan bersama dengan jajaran manajer
lainnya. Karena akuntan berperan sebagai agen maka akuntan mempunyai akses
informasi yang besar tentang perusahaan, para akuntan juga yang bisa mengetahui
secar lebih pasti apa yang harus dilakukan oleh perusahaan dan apa yang
dibutuhkan oleh massyarakat sekitar perusahaan terkait dengan akuntansi sosial.
Tetapi setidaknya para akuntan harus memahami
ada faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam setiap laporan yang dibuatnya.
Tidak diakuinya akuntansi sosial secara umum tidak harus menyebabkan para
akuntan mundur dalam merumuskan kebijakan akuntansi sosial. Seperti akuntansi
manajemen yang fleksibel, maka seharusnya akuntansi sosial juga dilaporkan
dengan memahami kondisi di sekitar kita
2.
SARAN
Makalah ini hanyalah sebuah ulasan yang sangat sederhana sekali, jadi tentunya
banyak sekali hal-hal yang belum tercantum dalam makalah ini. Tidak ada
salahnya untuk dosen pembimbing dan para pembaca yang
membaca makalah ini untuk lebih memberikan kritik dan menambahkan
beberapa masukan materi yang belum terdapat di makalah kami demi menyempurnakan ilmu dan pengetahuan kita
semua.
DAFTAR PUSTAKA
Ulum,
Ihyaul. 2009. Intellectual Capital.
Graha ilmu: Yogyakarta
Harahap,
Sofyan Syafri. 1997. Teori Akuntansi. Fajar
Interpratama Offset: Jakarta
Tuanakotta,
Theodorus M. 1986. Teori Akuntansi. Fekon
UI: Jakarta
Ikhsan, Arfan dan Muhammad Ishak.
2005. Akuntansi Keperilakuan. Salemba
Empat: Jakarta
Langganan:
Postingan (Atom)